Makalah: Peradaban Islam pada Masa Bani Umayyah

PERADABAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH
MAKALAH
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Drs. H. Mustopa, M.Ag.



Disusun Oleh:
Itmamul Huda                    123611018
Ika Krisna Nandani                        133611023

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

A.    PENDAHULUAN
Mulai dari masa Abu Bakar sampai Ali bin Abi Thalib dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa’al-Rasyidun. Ciri dari masa ini adalah para khalifah benar-benar menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut dengan demokratis. Setelah periode ini pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah rasyidah, tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan. Sedangkan khalifah-khalifah sesudahnya sering bertindak ototriter.[1]
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana awal berdirinya Dinasti Umayyah?
2.      Bagaimana sistem pemerintahan Diansti Umayyah?
3.      Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Umayyah?

C.     PEMBAHASAN
1.      Awal berdirinya Dinasti Umayyah
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 20 Ramadhan tahun  40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij[2] yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib. Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.

Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengakuan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur  dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan[3].
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk  itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya. Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah. Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.[4]
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ah yang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.[5]
2.      Sistem pemerintahan Dinasti Umayyah
Sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan yang cerdas dan cerdik. Seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H. Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.[6]
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan(661 M-681 M) dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Pengangkatan ini atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik  intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
1.          Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2.          Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3.          Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4.          Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5.          Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6.          Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7.          Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.          Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9.          Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10.       Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11.       Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12.       Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13.       Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14.       Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[7]
3.      Faktor-faktor penyebab runtuhnya Dinasti Umayyah
Sepeninggal khalifah Hisyam ibn Abd Al-Malik, khalifah-khalifah yang terpilih bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, dinasti Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim Al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, kemudian dia ditangkap dan dibunuh disana[8].
Ada beberapa fakator yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah melemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a.         Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab. Hal ini menyebabkan tejadinya persaingan dikalangan keluarga istana.
b.        Latar belakang terbentuknya dinasti Umayyah tak lepas dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Syi’ah dan khawarij tersu menjadi oposisi. Penumpasan gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
c.         Pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Qalb) semakin meruncing, sehingga penguasa Bani Umayyah kesulitan menggalang persatuan dan kesatuan
d.        Sikap hidup mewah di lingkungan istana, sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan ketika mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, golongan pemuka agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
e.         Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-Muthalib. Gerakan ini mendapatkan dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan syi’ah dan golongan mawali (non Arab) yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah

D.    KESIMPULAN
1.    Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah. Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun.
2.      Pada masa khilafah al-Rasyidin benar-benar menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut dengan demokratis. Setelah periode ini pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah rasyidah, tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan. Sedangkan khalifah-khalifah sesudahnya sering bertindak ototriter.[9]
3.      Sepeninggal khalifah Hisyam ibn Abd Al-Malik, khalifah-khalifah yang terpilih bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, dinasti Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim Al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, kemudian dia ditangkap dan dibunuh disana[10].



[1] Badri Yatim, hlm.42
[2](sumber: Wikipedia bahasa Indonesia), pada tnggal 29 September 2012, pukul 14.30
[3] Badri Yatim, hlm. 92
[4] Badri yatim, “Sejarah Peradaban Islam,Dirasah islamiyah II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, hlm. 43
[5] Badri yatim, op.cit., hlm.45
[6] Badri yatim, “Sejarah Peradaban Islam,Dirasah islamiyah II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, hlm. 42
[7] Istian Aby Bakar, Sejarah Peradaban Islam untuk perguruan tinggi islam dan umum,UIN malang pres,2008, Cet-1, hlm.49
[8] Badri Yatim, hlm.48
[9] Badri Yatim, hlm.42
[10] Badri Yatim, hlm.48

DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007
Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2008
Sulaiman, Rusydi. Pengantar Metodologi Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2014
Istian Aby Bakar, Sejarah Peradaban Islam untuk perguruan tinggi islam dan umum,UIN malang pres,2008

Comments

Popular posts from this blog

Modul Praktikum Ayunan Sederhana

Makalah, DORONGAN MENCARI RIZKI YANG HALAL

Pengembangan Alat Praktikum Tumbukan Momentum Linear " BAB PENDAHULUAN"